PROFIL SEKOLAH

BATU ABUR, BATU KERAMAT

Batu Abur  merupakan situs bersejarah yang berada di Batu Raya Desa Salumang Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak. Kampung ini merupakan hulu dari sungai Mainsapm dan berada persis didekat sungai. Sungai ini melintasi beberapa desa yang berada di Kecamatan Mempawah Hulu, mengalir hingga di Kecamatan Sadaniang Kabupaten Mempawah dan bermuara di Sungai Mempawah. Situs ini berupa bebatuan yang konon memiliki aura mistis sehingga menjadi keramat bagi penduduk setempat. Penduduk yang mendiami tempat ini adalah Suku Dayak berdialek “ba jare”. Rumpun Suku Dayak “ba jare” merupakan penduduk sub suku Dayak Kanayatn yang tersebar di binua Gado’, wilayah yang sekarang terbentang mulai dari perbatasan Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak sampai di Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang. Batu Abur menjadi kisah yang melegenda di kalangan masyarakat Dayak Kanayatn.

Situs keberadaan Batu Abur masih tetap terjaga dengan baik hingga saat ini. Namun  seiring zaman, kisah tentang Batu Abur mulai jarang lagi diceritakan oleh orang tua kepada generasi milenial. Bahkan, di era digital saat ini sedikit sekali menemukan jejak digital tentang legenda rakyat yang satu ini. Beruntung, masih ada sosok Oret, kakek yang biasa dipangggil Pak Arman yang menceritakan kisah Batu Abur dengan sangat rinci dan detail. Berikut Legenda Batu Abur yang diceritakan Pak Arman dengan dialek Dayak ba jare dan dituliskan kembali oleh penulis di sini.

Dahulu kala, di suatu kampung bernama kampung Batu Raya hiduplah seorang nenek bersama seorang cucunya yang masih kecil, kira kira berumur 8 tahun. Nek Minta namanya. Cucunya tersebut ditinggal kedua orang tuanya meninggal sejak masih kecil. Nek Minta kemudain merawat dan membesarkan cucunya tersebut dengan penuh kasih sayang. Sehari-hari Nek Minta bekerja diladang. Karena usia tua, tenaganya tak mampu lagi mengolah ladang. biasanya beliau juga menanam sayuran khas Dayak diladangnya. Sayuran tersebut terkadang dipetik untuk ditukar keperluan dapur. Namun sekarang ia hanya bisa mencari sayuran dan jamur dihutan. Ia juga terkadang mencari kayu bakar jika ada warga yang memerlukan untuk sekedar ditukar dengan garam dapur. Tak ketinggalan, ia memelihara seekor kucing, juga  ayam kampung sebagai sumber lauk, juga untuk di jual atau dibarter dengan keperluan lainnya. Namun, karena sering dijadikan barter, hanya tersisa seekor ayam jantan dan seekor ayam betina yang masih mengeram. Ayam ini juga sebagai penanda pagi jika berkokok.

Rumahnya yang mungil nan sederhana beratapkan daun sagu dan berdinding anyaman bambu (paapur) berada agak terpisah jauh (nobo’) dari kelompok rumah masyarakat kampung. Rumah itu, meskipun lebih cocok disebut pondok menjadi istana terindah tempat bernaung Nek Maya bersama cucu kesayangan satu satunya. Bak antara langit dan bumi, hidup Nek Maya dan cucunya serba berkekurangan dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Tak jarang keduanya menjadi buah bibir masyarakat karena ketidakberdayaan dalam kehidupannya.

Suatu ketika, dikampung Batu Raya ada suatu pesta perkawinan (gawe )yang diselenggarakan oleh warga kampung. Nek Maya juga mendapat undangan lisan (di nabo’) dari tuan pesta. Warga desa bersuka ria menghadiri pesta tersebut. Nek Minta bersama cucunya pergi ke pesta tersebut. Sesampainya di tempat pesta, beberapa orang menyambut mereka dengan mempersilahkan masuk. Lama ditunggu, mereka tak kunjung disuguhi makanan maupun sekedar minuman sekedar pelepas dahaga. Biasanya, jika ada pesta selalu ada kue tradisional yang disuguhkan untuk tamu yaitu tumpi’ dan poe’Tumpi’ merupakan  kuen seperti cucur terbuat dari tepung beras dan tepung ketan,  sedangkan poe’ adalah beras ketan yang dimasak didalam bambu seperti lemang. Setelah itu, barulah tamu makan nasi dan lauk daging babi (babotn). Merasa lapar, cucu Nek Minta bergegas ke dapur. Ia ingin sekali (taniti) makan tumpi’ dan daging.

Cucu Nek Minta meminta makanan tersebut kepada pajajakng, yaitu orang yang bertugas memasak dan mnyiapkan makanan untuk tamu. Karena semuanya sibuk melayani tamu yang lain, tak ada yang memperdulikan permintaannya. Tiba-tiba ada seorang warga yang mendengar permintaan sang cucu.  Perasaan  si cucu pun senang. Cucu Nek Minta diajak ke belakang dapur dan menunggu beberapa waktu. Warga itu kemudian memberi cucu ne’ minta potongan daging pada sebuah mangkuk.  Cucu Nek Minta sangat senang karena ia telah mendapatkan makanan yang diinginkannya sejak tadi.

Ia  keluar dari dapur dan beranjak menemui neneknya dengan gembira, sambil menggigit daging yang teksturnya sangat alot. Sambil menggigit, ia menarik potongan daging tersebut dengan tangan. Berulang kali hal itu dilakukannya, hingga Nek Minta pun bertanya dalam hati, “daging apakah gerangan itu?”. Melihat hal tersebut Nek Minta pun mengambil potongan daging babotn yang diberikan warga pada cucunya. Setelah ne’ minta mengambil potongan daging  tersebut,  ia pun terkesima sambil memandangi orang oran yang berada disekitar tempat pesta. Nek Minta menghela nafas panjang dan dengan hati yang luluh lantak, ternyata cucunya telah dihina tanpa perasaan. Potongan daging yang digigit sang cucu ternyata adalah jinton (lempengan getah karet yang membeku). Dengan suara berbisik, Nek Minta berkata kepada sang cucu, “Cucuku, daging yang kamu makan ini bukan babotn, tetapi jinton”. “Nek, mengapa sampai hati sekali mereka memberikan aku jinton, padahal kita diundang ke pesta ini”. Dengan mata berkaca-kaca, dengan suara bergetar Nek Minta menjawab sang cucu.  “Cucuku, nenek merasa teramat sedih melihat kamu diperlakukan seperti ini, baiklah kita pulang dan makan di rumah saja. Nenek akan membuatkan makanan untukmu”, jawab Nek Minta dengan perasaan amarah terpendam. Sontak kepala Nek Minta terasa panas terbakar, jantung berdetak kencang menahan malu dan amarah, dengan wajah tertunduk dan berlinang air mata mereka berdua segera pergi meninggalkan tempat pesta tersebut.

Dalam perjalanan pulang, Nek Minta memohon kepada Jubata ( Tuhan) agar memberikan pengampunan dan pelajaran bagi warga yang telah menghina dan merendahkan martabat sang cucu dan dirinya.  Sesampainya di rumah,  ia mengambil kucing peliharaannya. Kucing itu tersebut dibuatkan pakaian dengan  menggunakan baju dan celana. Ne’ Minta kemudian membawa kucing tersebut ke tengah-tengah keramaian pesta, kemudian melepaskannya di tengah keramaian. Pada saat kucing itu dilepaskan di tengah keramaian,  orang-orang di pesta itu tertawa terbahak-bahak, melihat penampilan kucing yang berdandan seperti manusia.  Kucing tersebut gelisah seperti menari nari karena mamakai pakaian. “Biarlah mereka puas menertawakan kucing ini, dan jangan lagi mereka menghina dan menertawakan kami” Nek Minta berkata dalam hati.

Ia dan cucunya pun segera  pergi meninggalkan keramaian  itu.  dengan membawa 1 buah kelapa, sebutir telur, dan bambu tumiang untuk tongkatnya, mereka pergi meninggalkan kampung itu. Kucing itu menari dengan girangnya, demikian juga orang-orang kampung semakin menjadi-jadi menertawainya. Cuaca  yang tadinya begitu cerah, seketika berubah menjadi gelap. Orang kampung yang menertawakan kucing itu  pun menjadi terheran-heran melihat cuaca yang begitu gelap, seperti menjelang malam. Kucing  itu  menari terus tanpa menghiraukan keadaan alam yang terjadi. Di tengah-tengah keasikan  itu tiba-tiba datanglah angin yang disertai  petir menggelegar berulang kali ditempat orang kampung mengadakan pesta. Petir dan guruh guntur bersahutan disertai hujan meluluhlantakkan tempat pesta itu. Tempat itu berantakan dan hancur berkeping-keping. Tak lama berselang, angin dan petir sudah mulai reda. Cuaca mulai berubah cerah kembali sehingga terlihat yang disekelilingnya. Akibat tiupan angin topan dan sambaran petir tempat pesta dan kampung berubah semua menjadi batu. Jadilah “Batu Abur”. Abur dalam bahasa Dayak bajare berarti luluh lantak, hancur berantakan.

Dalam pelariannya,  bunyi petir yang menggelegar dan tiupan angin kencang dapat mereka dengar dan rasakan di tempat pengungsian. Sesampainya di sebuah kompokng, Ne’ minta lalu menancapkan bambu tumiang sebagai tongkatnya ketanah dan menanam kelapa yang dibawanya.

Dalam masyarakat  Dayak pada umumnya, bambu menyimbolkan kemantapan hati seseorang dalam menjalankan kehidupan, sama halnya seperti bentuk bambu yang selalu berdiri tegak atau menjulang tegak ke atas walaupun ditiup angin. Ruas-ruas bambu menandakan tingkatan kehidupan  yang pada akhirnya diharapkan membaik dan rezeki akan  diterima atau diperoleh berdasarkan usaha yang baik. Oleh karena itu, bambu juga memiliki nilai etika yang baik dijadikan sebagai semboyan hidup, yaitu tetap berdiri tegak menjulang tinggi meskipun berkali-kali diterpa angin dan badai. Kelapa bermakna bahwa dimanapun berada, seseorang dapat bertahan hidup dan menjadi sumber berkat bagi sekitar. Seperti halnya kelapa, dapat hidup di daratan/tanah, juga diatas air, bahkan tergantung pun masih menumbuhkan tunas kehidupan yang baru. Telur yang dibawanya kemudian menetas dan menjadi ayam jantan. Telur melambangkan sebagai permulaan sumber kehidupan, harapan yang baru. Di tempat yang baru, Ne’ Minta dan cucunya hidup tenang tanpa ada yang mengganggu dan menghina mereka.

 

Hingga saat ini bambu itu masih hidup dan menjadi rumpun bambu yang besar. Konon jika bambu itu dipotong maka akan mengeluarkan darah. Demikian pula tempat pesta yang merupakan bukti-bukti kejadian itu masih ada di daerah Batu Raya, yang menunjukkan tempat itu pernah dihuni oleh manusia. Banyak barang-barang yang pada zaman dahulu itu bisa dilihat di tempat ini, misalnya batu yang berbentuk peti (batu pati), batu yang berbentuk lesung (batu lasukng) dan batu yang berbentuk tempat duduk (entong). Namun ketika kita mengabadikannya dalam bentuk foto, batu-batu tersebut tidak nampak bentuknya hanya orang yang beruntung yang dapat mengabadikannya dalam bentuk foto.

Sekarang tempat itu dikeramatkan dan tak boleh di kotori dan juga tak boleh di sentuh sembarangan, ada kalanya di tempat itu kita dapat melihat seorang ibu menyusui anaknya. Konon ada orang yang pernah melihat kucing Ne’ Minta dalam peti yang sudah menjadi batu itu. Mulai kejadian pada zaman dahulu hingga saat ini tempat itu diberi nama Batu Abur.

Anda penasaran mengunjungi situs Batu Abur ini? Dengan kendaraan bermotor, kita dapat menempuhnya selama sekitar satu jam dari Pusat Kota Kecamatan, Karangan. Jika sudah memasuki desa Salumang, jangan lupa mnta petujuk arah kepada penduduk setempat. Dari sana anda akan diarahkan masuk ke Dusun Batu Raya sejauh 4 kilometer. Para pengunjung tetap harus berhati hati sebab bebatuan sungai Mainsapm yang berlumut mambuat tergelincir.


0 Komentar

Kirim Pesan

Kalender

Oktober 2025

Mg Sn Sl Rb Km Jm Sb
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18
19 20 21 22 23 24 25
26 27 28 29 30 31

Kontak

Alamat :

Jl. Raya Karangan No. 56

Telepon :

081257004817

Email :

smpn1mpwhlu@gmail.com

Website :

http://www.smpn1mempawahhulu.sch.id

Media Sosial :